Suluh Demokrasi


SATEOLOGI

Sekelompok pedagang sate dari desa mendatangi rumah Ir. Nasrullah Idris Ph.D, seorang pakar Sateologi yang baru saja menyelesaikan studinya, sekaligus seorang direktur PT."Mekanisme Simbol Sate Tanpa Makna".

Setelah disalami satu per satu, beliau pun mempersilakan mereka duduk di teras rumahnya.
"Ada nih yang bisa saya bantu", ujar Tn. Nasrullah Idris dengan penuh ramah, "Oya ... mau minum apa nih?"
"Apa saja, Pak !", ujar mereka yang diketuai oleh Pak Kumis, "Terima kasih sebelumnya!"
"Jadi ?"
"Kami ini pedagang sate yang sudah berusaha hampir enam tahun. Namun dalam krisis moneter begini, sebagaimana bapak juga ketahui, harga bahan pokok sate naik"
"Ya ya ya ! Memang demikian. Jadi apa yang bisa saya bantu?"
"Yang kami butuhkan adalah bagaimana memberikan nilai tambah terhadap cita rasa sate dengan bahan apa adanya ?"

Tn. Nasrullah Idris tekejut. Karena awalnya dia menyangka, mereka datang meminta bantuan berupa uang untuk mengembangkan dagangannya. Ternyata tidak.
"Mengapa meminta kepada saya ?", Tn. Nasrullah Idris mulai gugup.
"Soalnya kami mendengar bahwa bapak ini ahli di bidang ilmu tentang sate."

"Hmmmmmmmmm ! Ya ya ya", Tn. Nasrullah Idris mendehem sambil mengkrenyitkan dahi dan mengekspresikan penampilan yang berwibawa.
"Begini, pak ! Memang saya sejak mahasiswa tingkat pertama mempelajari tentang sate dalam artian makanan. Tetapi bukan menyangkut sate yang bapak maksud".
"Jadi ?"
"Yang kami pelajari adalah APLIKASI SATEOLOGI, GEOSATEOLOGY, TEORI SATEOLOGY, SATEOLOGY INFORMATION, RESEARCH SATEOLOGY, dan DEVELOPMENT SATEOLOGY".
"Ooooo....!", ujar mereka mengiyakan meskipun entah, apakah mereka mengerti nggak maksudnya.
"Waktu saya mengikuti seminar 'INDONESIAN FORUM FOR SATEOLOGY MANAGEMENT' tidak pernah dibahas masalah itu."
"Ya ya ya ! Wah rupanya kami salah alamat datang kemari."
"Nggak apa-apa. Saya maklum. Oya ... bagaimana kalau bapak-bapak menanyakan pedagang sate yang lebih berpengalaman?"
"Iya, pak ! Nanti akan saya tanyakan. Mohon maaf telah mengganggu kesibukan bapak"
"Ha ha ha ! Biasa itu!", ujar Tn. Nasrullah Idris menampakkan sikap bersahabat.
"Kalau begitu kami pamit."
"Sering-sering saja ke sini ya!"
"Terima kasih sebelumnya!"
Mereka pun meninggalkan rumah Tn. Nasrullah Idris dengan ekspresi pengertian.