Suluh Demokrasi

Akibat  Krisis Ekonomi
Konsumen Kembali ke Titik Nol
Oleh : Agus Pambagio

Krisis ekonomi berkepanjangan mengakibatkan daya beli konsumen hilang 80 persen. Hal ini logis karena nilai rupiah juga terdepresiasi hingga 76 persen lebih. Konsumen pun tidak bisa bergerak apalagi membeli barang sekunder. Konsumen hanya akan mementingkan uangnya yang tinggal 20 persen untuk membeli kebutuhan pokok saja. Ironisnya, kebutuhan pokok juga naik dari 10 persen hingga 400 persen. Hal inilah yang sekarang menjadi masalah bagi konsumen. Maka wajar, kalau konsumen kita pasca lebaran ini rata-rata tidak mampu hidup layak.
Dengan pertimbangan stabilitas politik selama SU MPR, pemerintah memberikan subsidi minyak goreng. Selesai sidang umum, subsidi ini pasti dicabut. Bahan bakar minyak, misalnya. Begitu subsidinya dilepas, khususnya minyak tanah dan diesel, seluruh harga akan naik berlipat-lipat dari harga sekarang.

Lalu, jika minyak diesel harganya naik maka akan berdampak terutama pada transportasi karena seluruh alat transportasi menggunakan minyak diesel. Selain transportasi, dunia industri juga menggunakan minyak diesel untuk tenaga. Buntutnya, unit cost barang yang diproduksi pasti akan naik. Tarif listrik pun ikut-ikutan berperan aktif alias naik. Semua naik. Makin susah dikontrol. Posisi konsumen bisa-bisa menjadi nol. Kecuali jika pemerintah melakukan subsidi terhadap beberapa jenis komoditas tersebut.

Pertanyaannya, seberapa kuat pemerintah mampu mensubsidi, misalnya  pada bahan pokok atau sembako? Kalau kita memperhatikan diskusi pakar ekonomi, cadangan devisa kita tidak cukup untuk mensubsidi. Sehingga harus dipikirkan barang apa yang harus disubsidinya. Sekalipun pada sektor sembako tidak bisa kalau semuanya diberikan subsidi. Usulan kita yang harus disubsidi adalah beras, minyak tanah dan juga susu. Sebab kalau susu tidak disubsidi anak-anak kita menjadi "goblok" semua. Bahkan, ikan asin pun harus disubsidi karena ikan asin masih banyak digunakan. Kita khawatir kalau ikan asin harganya sampai naik saya rasa celaka itu. Di luar itu yang mungkin disubsidi adalah sektor transportasi. Mendikbud tidak bisa seenaknya mengatakan kalau transportasi tarifnya naik mahasiswa harus berani jalan kaki ke kampus. Ya, kalau jarak rumah dengan kampusnya dekat, lantas kalau jauh  bagaimana? Jelaslah bahwa menaikkan tarif BBM merupakan kebijaksanaan yang tidak tepat walau di sisi lain Pak Harto sudah menyetujui paket IMF. Strateginya subsidi tersebut  jangan dicabut terlalu besar, sebab akan mengakibatkan harga semakin tinggi dan naik terus. Parahnya lagi, kalau tarif transportasi naik maka akan merembet ke sektor yang lain. ***

Gambaran tentang kebijakan ekonomi kita sekarang ini adalah ibarat orang yang sudah berobat ke dokter penyakit kulit yang sangat ahli dan mahal, namun belum sampai setengah kita sudah pindah lagi ke seorang dukun. Kita sudah sepakat dengan paket dari IMF lalu mendadak pindah ke Currency Board System atau Sistem Dewan Mata Uang. Menurut hemat saya sistem tersebut malah bisa mengacaukan pasar. Dari segi bisnis, CBS akan mengakibatkan para pengusaha, terutama yang sudah melakukan moratorium untuk menjadwal ulang utangnya dengan pihak perbankan, sebenarnya  hampir final. Tetapi dengan tiba-tiba muncul isu CBS yang akan mematok uang rupiah sebesar Rp 5.000. Akibatnya mereka menjadi mundur, baik pihak bank maupun pengusaha. Akhirnya kesepakatan yang hampir final itu ditunda lagi.

Pengaruh paling besar yang menyebabkan resesi ekonomi di negara kita berkepanjangan adalah;  pertama life style kita tidak mencerminkan gaya hidup rupiah, dan tidak mencerminkan produktivitas terutama kalangan menengah ke atas. Artinya mereka mengharapkan bayaran tinggi dan pengeluaran tinggi tetapi produktivitasnya rendah.

Kedua, sistem perbankan Indonesia yang ternyata kacau balau. Bayangkan, Indonesia memiliki lebih dari 200 bank. Negara mana yang memiliki bank sebanyak itu? Di negara (maju) sekali pun, paling banter hanya memiliki 5 sampai 10 buah bank baik bank swasta maupun pemerintah. Akibatnya, dengan jumlah yang sebanyak itu Bank Indonesia tidak akan bisa mengawasi 200 bank tersebut.

Ketiga, sistem produksi kita tidak mencerminkan dollar earning (pendapatan dollar), misalnya pengusaha yang mencari utang di luar dengan dolar. Sementara utang yang berwujud dollar itu diputar di Indonesia dalam jangka pendek dan dalam bentuk rupiah. Sudah pasti pendapatan pengusaha tersebut dalam bentuk rupiah juga. Akibatnya seperti sekarang ini. Sedikit saja ada goncangan terhadap kurs dollar, mereka tidak mampu membayar utang. Apalagi sistem perdagangan kita yang tidak transparan, misalnya soal monopoli yang sudah parah.

Keempat, tidak adanya komitmen dari pejabat negara kita yang kebanyakan masih mencla-mencle. George Soros sebenarnya sudah lama tidak bermain dengan uang rupiah. Dia sudah lama pergi, karena toh dia juga tahu diri. Demikian juga dengan currency trader atau pedagang mata uang asing yang lainnya.

Jadi pertanyaan mengapa krisis di Indonesia tidak sembuh-sembuh, jawabnya karena keempat faktor tadi itu. Sepanjang faktor-faktor tersebut belum dibenahi maka krisis ekonomi di Indonesia susah sembuhnya. Apalagi, kita sudah teken kontrak dengan beberapa kesepakatan internasional tentang liberalisasi perdagangan. Misalnya,  2003 saat orang asing boleh masuk dan beroperasi di Indonesia, mau jadi apa rakyat dan konsumen kita? Sebelum ada krisis ekonomi pun, sesungguhnya kita belum siap bersaing dalam kancah liberalisasi perdagangan tersebut. Bagaimana bisa siap dan bersaing dalam kancah internasional kalau sistem perekonomian Indonesia masih kacau. Secara teknis manajemen pun sebenarnya pengusaha Indonesia sama sekali tidak menguasai tentang seluk beluk liberalisasi. Bagi mereka yang penting adalah mendapatkan untung.

Sehingga, jika CBS benar-benar diterapkan sementara tidak diiringi dengan kebijaksanaan ekonomi yang fundamental maka konsumen sangat dirugikan. Memang, secara prinsip tidak ada persoalan dengan CBS, karena SBS bukanlah sistem yang salah dan menjerumuskan. Tetapi, CBS bisa berjalan dengan baik kalau empat fundamental ekonomi yang tadi saya katakan sudah diberesi. Sekarang ini, siapa yang bisa menanggung jika misalnya rupiah di patok, kemudian anak "si A" dan "si B" berbuat macam-macam. Misalnya melanggar garis yang sudah ditentukan; apakah ketua CBS berani menolaknya? Nah, hal itu yang tidak bisa dilakukan di Indonesia. Selain itu, apakah cadangan devisa kita sudah cukup untuk menerapkan CBS? Sekarang orang sudah menarik tabungan rupiahnya dari bank, dan disimpan di rumah. Dampaknya, bank mengalami kekosongan dana. Apa akibatnya bagi konsumen?

Ketika dana bank kosong maka bank akan mencari dana di luar. Begitu sampai pada titik yang paling atas, dimana uang sudah habis --karena dollarnya disedot ditukar dengan rupiah, dan cadangan habis, maka bank kosong tidak mempunyai rupiah lagi. Sementara transaksi masih tetap berjalan, maka bank menaikkan suku bunga yang sangat tinggi, sampai 100 persen. Akibatnya dunia usaha tidak bisa bergerak dan tidak bisa beroperasi. Satu-satunya jalan mereka juga menjual produk yang sangat tinggi. Akibatnya konsumen rugi, bahkan mati.  Selain itu, jika CBS diterapkan, kemudian ada bank yang nakal maka Bank Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa karena Bank Indonesia tidak berfungsi lagi.

Ada beberapa usulan. Benahi dulu sistem ekonominya, perbankannya, likuidasi harus diterapkan terhadap semua bank yang tidak beres, dan anak Si A tidak lagi mendapatkan proyek dengan begitu mudahnya. Pokoknya tidak ada masalah dengan CBS. Argentina atau Hongkong bisa mengatasi krisis karena sistem ekonomi dan sistem politiknya jauh lebih bagus ketimbang Indonesia. Yang jelas, secara fundamental sistemnya harus diberesi dahulu, baru setelah sistemnya beres bisa  menggunakan CBS. Prediksi saya, jika tak ada perubahan yang fundamental baik dalam sektor ekonomi maupun sektor politik, maka kondisi ini akan terus memburuk, kecuali pemerintah melakukan subsidi terutama pada sembako. Tetapi sayangnya, hal ini agak sulit. Bila orang yang melakukan manajemen negara masih yang itu-itu juga. Tidak bersih, kolutif dan monopolistik. Maka dari itu harus ada reformasi politik. ***