Sumber: [INDONESIA-L] AJInews -apakabar@clark.net Wed, 29 Apr 1998 12:02:11 -0600 (MDT) Jakarta (AJInews, 29/4/98): Berikut adalah sebagian kesaksian Pius Lustrilanang, Sekjen Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) yang juga Sekretaris Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati (SIAGA) kepada Komnas Ham, Senin (27/4). Kesaksian ini merupakan catatan hitam sejarah kemanusian negeri merdeka ini. APA yang saya ceritakan selama ini bahwa saya menghilang selama berhari-hari, adalah tidak benar. Kejadian sesungguhnya, saya diculik dan ditahan di suatu tempat. Kejadiannya terjadi pada tanggal 4 Februari 1998 lalu. Waktu itu saya mengunjungi salah seorang ibu kandung sahabat saya yang menjalani perawatan di RSCM. Sekitar pukul 15.30, ketika saya hendak keluar dari RSCM, tiba-tiba ada sebuah mobil Corolla Twin Cam warna abu-abu, berhenti di depan saya. Seorang pria turun dari mobil. Laki-laki itu mengandeng saya masuk ke dalam mobil sambil menodongkan senjata. Kalau dilihat sepintas senjata tersebut mirip FN. Mereka jumlahnya empat orang. Di dalam mobil, saya disuruh merunduk dan salah seorang di antaranya memerintahkan yang memegang stir agar berangkat ke Bogor. Saat itulah, terdengar suara musik yang sengaja diputar keras-keras. Tangan saya diborgol ke belakang, mata ditutup kain dan badan saya ditutup koran setengah lembar. Satu jam kemudian, mobil berhenti di suatu tempat. Apa nama tempat itu, sampai saat ini tidak bisa saya identifikasi. Sepertinya tempat itu adalah sebuah kantor. Lalu saya dimasukkan ke dalam ruangan dalam keadaan mata masih tertutup kain dan tangan terborgol ke belakang. Setelah itu saya ditanya oleh seseorang. "Namamu siapa? Apakah kamu tahu kenapa kamu dibawa kesini? Saya jawab saya tidak tahu. Masak kamu tidak tahu? Saya jawab mungkin saya terlalu aktif turun ke jalan menjelang SU MPR,". Setelah itu, tas saya digeledah dan ditanya apa saja isinya. Waktu digeledah, mereka menemukan ATM milik saya. Bahkan, mereka sempat bertanya tentang nomor PIN-nya. Dalam introgasi awal itu, mereka juga bertanya mengenai keberadaan saya semalaman. Saya jawab, saya tidur di rumah kawan di Jl Veteran. Seseorang di antara mereka kemudian bertanaya, di mana saya tinggal. Saya bilang saya tinggal di Bandung. Saat pemeriksaan dilakukan, orang lain yang duduk di dekat saya mengeluarkan kata-kata, "Saya ini orangnya tidak suka bertele-tele. Saya ingin langsung, to the point. Tak lama kemudian ada seorang pria yang datang dan mengecek alat strom ke kaki saya. Stromnya berbunyi. Kira-kira bunyinya cethak...cethak.....cethak. Pria itu bertanya tentang kegiatan saya. Termasuk rapat terakhir dengan Ratna Sarumpaet (Koordinator SIAGA, Red). Seusai saya jawab, mereka bertanya tentang adanya suatu rapat di Blok M. Apakah kamu hadir dalam rapat di Blok M yang dihadiri oleh empat orang diantaranya Megawati Soekarnoputri, Dhaniel Indrakusuma dan tokoh-tokoh lain (yang kebetulan saya lupa menghafalkannya). Karena merasa tidak hadir dalam pertemuan itu, saya bilang saya tidak tahu. Saat itulah kaki dan tangan saya mulai distrom. Merasa tidak kuat, saya mengakui saja bahwa saya hadir. Mereka kemudian bertanya tentang apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu. Karena saya memang tidak tahu, saya lalu mengatakan, "Pak saya tidak bisa bohong". Lalu mereka balik bertanya, "Sampai kapan kamu melindungi mereka?" Karena jawaban itu tak memuaskan, mereka kembali menyetrom. Waktu itu tangan saya dalam keadaan terborgol dan mata saya tertutup. Tak lama setelah itu saya disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan diantar tiga orang. Jarak antara ruangan tempat pemeriksaan pertama dengan ruangan interograsi lainnya kira-kira 20 atau 30 meter. Saat pertama kali menginjakkan kaki di ruangan itu, saya mendengarkan suara musik begitu keras. Tadinya saya pikir ruangan itu adalah sebuah diskotik. Tapi akhirnya saya tahu kalau suara musik itu ternyata berasal dari dalam sebuah tape compo kecil. Sebelum masuk sel tahanan, borgol dan mata saya dibuka. Mereka tiba-tiba menelanjangi saya. Setelah telanjang, saya disuruh masuk ke dalam kotak bak di ruangan itu. Di dalam ruangan tersebut terlihat ada satu tempat tidur terbuat dari kayu, satu bak mandi dan WC berukuran 2 x 2,5 meter. Sedang ketiga orang yang membawa saya ke dalam ruangan, semuanya mengenakan topeng. Setelah berada di dalam bak yang sempit, mereka menginjak kepala saya dan memutar kran air hingga bak itu penuh dengan air. Kemudian, mereka membenamkan kepala saya (Pius menunduk, berhenti bercerita. Matanya berkaca). Saya pikir waktu itu saya akan mati di dalam bak, mengingat air yang dikucurkan di dalam bak terus mengucur sampai di bawah hidung saya. Kaki mereka menginjak kepala saya. Apalagi bak itu sempit dan hanya cukup sebadan. Usai merendam, mereka memberikan satu buah celana pendek dan kaos serta sikat gigi bekas yang bulunya bermekaran, satu sabun cuci, sabun mandi bekas, dua lembar selimut. Kedua selimut itu satu saya pakai sebagai bantal dan satu lagi saya pakai untuk selimut. Usai memberikan kebutuhan sehari-hari, mereka mengunci pintu sel. Di dalam sel saya bergegas menenangkan diri sambil berbaring. Sesaat kemudian, mereka mengantarkan satu botol air kemasan 600 mili liter dan satu bungkus nasi. Kira-kira pukul 21.00 atau pukul 22.00, saya tidak bisa memastikannya karena tidak bisa membedakan waktu, mereka datang lagi dan membawa saya keluar dari dalam sel. Biasanya, sesuai prosedur mereka, setiap kali pintu dibuka, saya harus senaruh tangan di belakang mendekati pintu sel untuk di borgol. Kalau sudah begitu, kedua mata saya diikat dengan kain. Setelah selesai, saya digelandang keluar dari dalam sel dan dibawa ke dalam sebuah ruangan terbuka cukup lebar. Dan itu adalah prosedur standar mereka mengintrogasi. Di ruangan itu, saya menghadapi sebuah meja yang menghadap ke tembok. Dua atau tiga orang datang dengan ikat kepala, lalu mereka memperlihatkan kepada saya sebuah dokumen PRD. Kalau saya lihat, dokumen itu merupakan jurnal triwulanan. Judulnya konfrontasi yang berisi lima tahap penggalangan PRD. Mereka mengatakan, "Anda sebenarnya ingin saya tarik dari program yang mereka buat. Dan Anda sudah berada dalam tahap kelima." Dalam pertemuan itu, saya terlibat diskusi sebentar dengan mereka. Agar lebih lengkap mereka memberikan selembar kertas dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang harus saya tulis. Namun, sebelum menulis mereka membuka borgol saya. Pertanyaanya ada empat atau lima. Pertama mengenai biografi saya. Kedua, tentang kegiatan saya di SIAGA dan ketiga pertemuan dengan Megawati. Termasuk apa saja yang dibicarakan dan siapa saja yang hadir. Keempat saya disuruh mengidentifikasi LSM-LSM yang Saya hanya mengisi satu pertanyaan dari atas. Dan perasaan saya, mereka yang menginterograsi saya adalah seorang perwira. Merasa tak puas, tiba-tiba seorang diantara mereka memukul kepala bagian belakang. Anggapan saya, mereka yang memukul adalah anak buahnya. Usai memukul, pria itu mengikat mata saya keras-keras dan membawa saya masuk ke luar ruangan. Di tengah jalan, mereka sengaja membenturkan saya ke tembok. Sepanjang jalan menuju sel, saya kerap dipukul. Pada hari kedua, tidak terjadi apa-apa. Pada hari ketiga sekitar pukul 21.00 saya dikeluarkan lagi dari dalam sel. Mereka kembali melakukan intrograsi lanjutan. Sebelum diinterogasi, lagi-lagi mereka berpesan kepada saya bahwa mereka tidak mau mendengar jawaban bertele-tele. Saya disuruh mengidentifikasi nama-nama orang, apakah saya kenal atau tidak. Diantaranya, Megawati, Permadi, Daniel dan sejumlah aktivis lainnya. Mereka juga bertanya apakah saya kenal LB Moerdani atau tidak. Tapi sebelum saya menjawab pertanyaan, mereka menekankan sekali lagi soal strum kabel. Ruangan pemeriksaan kali ini berbeda dengan ruangan pertama. Seusai diinterogasi saya dibawa kembali ke ruangan pertama, tempat saya diinterogasi, untuk mengisi pertanyaan dan mengindentifikasi foto-foto. Setelah makan siang saya dibawa lagi ke dalam sel. Sampai sampai menjelang kepulangan, saya cuma berada di dalam sel dan tidak ada lagi penyiksaan. Saat saya berada di dalam sel, suara musik yang keluar dari radio FM diputar secara non-stop tanpa dimatikan. Selama dua tiga minggu mereka menyetel radio Mustang. Radio ini adalah radio paling keras dan mudah ditangkap dengan jelas suaranya di tempat itu. Radio mustang ini, kira-kira pusatnya di Cinere. Gelombangnya bisa menimpa gelombang radio lain. Berarti gelombangnya sangat besar. Pukul 02.00 dini hari, radio ini mati dan pukul 05.00 pagi hidup kembali. Ada selang waktu tiga jam. Terasa hening. Waktu hening itu, dimanfaatkan orang-orang yang ada di dalam sel untuk saling berbicara dengan sesama tahanan lainnya. Pada hal kami sudah diintimidasi untuk tidak berbicara dengan penghuni sel lainnya. Di dalam penjara itu terdapat enam buah ruangan. (lalu pius menggambarkannya). Tanggal 12 Maret dihuni oleh lima orang. Mereka adalah Faisol Reza, Desmon J Mahesa, Haryanto Taslam, Raharjo Waluyo Jati dan saya sendiri. Di dalam sel ada tiga ruangan. Di depan dan di belakang di ekitar sel itu tidak ada satu pohonpun. Di ruangan tersebut tidak ada sinar sedikitpun. Pernah suatu saat lampu mendadak mati praktis di ruangan itu keadaannya menjadi gelap seratus persen. Ada satu AC di depan dan di sel belakang. Di setiap muka sel dipasang kamera. Sewaktu saya berada di dalam sel saya mendengar suara empat orang. Jadi enam sel itu diisi empat orang sehinggaada dua sel yang kosong. Saya tidak bisa melihat wajah mereka namun mengenal suara mereka. Saya akhirnya bisa bercakap-cakap dengan mereka. Sebelum saya dilepaskan ada yang bilang bahwa sikap saya agak baik. `Jadi kamu bisa bebas tetapi tergantung dari bos-bos saya (2 April siang) setelah makan siang. Mudah-mudahan keputusannya positif. Tapi kalau keputusannya negatif, saya akan melakukannya tanpa ragu-ragu sedikitpun. Kemudian saya di bawa lagi ke sel. Sekitar pukul 18.30, saya di bawa ke dalam ruangan lagi. Di sana saya diputuskan untuk pulang. Mereka bilang bahwa, "Pertama kali kamu harus bersyukur kepada Tuhan. Supaya kamu tahu bahwa keputusan untuk mengeksekusi orang dilakukan dengan sangat selektif. Yang kedua kamu harus bersyukur kepada ibumu karena saya percaya bahwa ibumu mendoakan kamu terus menerus." Sebelum pulang mereka membuat sekenario. Saya dibekali tiket dan diantar langsung menuju bandara untuk langsung pulang ke rumah, naik merpati flight pukul 17.30. Sebelum pulang malamnya saya dipesan: pertama, untuk bilang kepada orang tua bahwa selama ini saya bersembunyi, kemudian yang kedua, harus mengkontak teman-teman di Jakarta dan mengatakan bahwa saya sudah bebas dan kembali ke Palembang. Dan ketiga saya tidak boleh mengadakan konferensi pers, dan jika ketiga hal ini dilanggar maka saya dianggap penghianat dan mereka akan memburu saya. Besuknya jam 08.00 saya di bawa keluar kemudian diintimidasi tentang tiga hal tadi supaya tidak lupa. Selain ketiga hal tersebut saya tidak boleh menceritakannya kepada siapapun. Menjelang makan siang saya dijemput keluar dari sel dan disuruh menunggu. Tangan saya tidak diborgol dan saya diberi kesempatan untuk merokok. Di ruangan itu saya diberi penjelasan bahwa saya diberi tiket penerbangan terakhir dan semua barang akan dikembalikan. Mata saya pada waktu itu tetap ditutup sampai di bandara. Pukul 15.00 saya dibawa ke bandara. Waktu itu mata saya masih ditutup sampai di terminal A Bandara. Tiba di Bandara sekitar pukul 16.20 menumpang sebuah mobil. Selama dalam perjalanan, kendaraan itu melintasi jalan tol. Pertama saya bayangkan tol itu adalah tol Jagorawi, karena tolnya pendek. Waktu saya membayangkan, posisi saya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Mungkin itu sekitar Sentul. Di dalam mobil saya duduk ditengah. Mobilnya Kijang. Dua orang di depan, dua di samping saya dan dua lagi di belakang. Saya tidak mengenal satu orangpun karena mata saya ditutup, kemudian di terminal C saya diturunkan. Padahal saya berangkat dari terminal B. Sebelum turun, saya disuruh merunduk dan tutup mata dibuka. saya tidak boleh menenggok ke belakang dan langsung harus berjalan menuju terminal B. Di terminal itu saya langsung check in. Selama ditahan, mereka pernah tiga kali menunjukkan senjata kepada saya. Kali pertama, saat saya ditangkap. Kedua, sewaktu pakaian saya dilucuti dan disitu ada revolver. kemudian empat hari sebelum dibebaskan saya ditunjukan sebuah pistol yang sangat kecil. Tapi jenisnya bukan revolver. Setelah itu saya ditunjukkan sebuah magazine. Meskipun saya mendapatkan tekanan fisik dan psiksis saya tetap akan berada di Jakarta. Saya ingin agar Komnas HAM menunjukkan kesungguhannya untuk menjamin keselamatan saya. Saya ingin meminta bukti dari ABRI bahwa mereka harus bertanggungjawab atas keselamatan para saksi dan ingin meminta perlindungan kepada seluruh masyarakat untuk menjaga orang yang telah memberikan kesaksian untuk tetap berani. Saksi-saksi lain saya minta untuk angkat bicara. Saya bicara begini dengan resiko mati. Resikonya tidak kecil tapi saya pilih itu karena semua ini harus diakhiri. Haryanto Taslam dan Desmon sudah keluar. Mereka berada di tempat yang sama dengan saya. Jadi mereka juga perlu dilindungi dan perlu didorong untuk berterus terang seperti saya. Saya pernah mendengar dari Waluyo Jati bahwa Bimo Petrus (Petrus Bimo Anugrah) dicari-cari karena dia dianggap sebagai kurir. Mereka bertanya tentang ciri-ciri Bimo Petrus. Tetapi yang dikejar adalah Andi Arif (Ketua SMID, Red). Mereka juga berjanji bahwa selama Andi Arif belum berhasil ditangkap, kalian tidak akan bisa melihat matahari.Tiga orang yang ditahan di olda dilakukan karena Waluyo Jati menunjukan tempat mereka. Dia terpaksa mengaku karena disiksa terlalu berat. Siapapun saya pikir tidak akan tahan. |