Suluh Demokrasi
Restrukturisasi ABRI - LETJEN PRABOWO SUBIYANTO, JEND.SUBAGIO, MAYJEN SYAFRIE SYAMSUDIN DAN MAYJEN MUCHDI DIGANTI


Kabar dari PIJAR

Dua hari setelah mundurnya Soeharto, kini giliran anak menantu yang menjadi Pangkostrad, Mayjen (TNI-AD) Prabowo Subiyanto didepak oleh Panglima ABRI Jend. Wiranto. Penggantinya adalah Mayjen. TNI-AD Johny Lumintang yang kini menjabat Asisten Teritorial Mabes ABRI.

Selain Prabowo, Wiranto juga dikabarkan akan mengganti Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Soebagio HS. Jabatan ini akan diserahkan ke Letjen TNI AD Susilo Bambang Yudhoyono yang kini menjabat Kassospol ABRI. Selain itu, Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Samsudin diganti Mayjen (TNI/AD) Luhut Panjaitan. Sedang Danjen Kopasus, Mayjen TNI-AD Muchdi juga akan didepak dan diganti oleh Mayjen (TNI/AD) Syahrier L. Begitu juga kabarnya Kabakin, Letjen Mutojib yang hingga kini belum diketahui siapa yang akan menduduki posisi ini.

Penggantian Prabowo ini jelas amat mengejutkan dan sangat mendadak. Memang sebelumnya telah terdengar santer isyu yang mengatakan terjadinya pertentangan antara Wiranto dan Prabowo. Tapi tidak ada yang menduga bahwa nasib Jend. Prabowo akhirnya mengenaskan. Ketika Soeharto berkuasa, posisi Prabowo begitu kuatnya, sehingga dijuluki 'tentara di dalam tentara'. Keputusan yang diambilnya bisa memby-pass dan mengabaikan perintah dari Mabes ABRI.

Wiranto memang sudah lama kesal terhadap menantu Soeharto ini yang berkali-kali bikin manuver dengan tujuan merusak citra dirinya. Penculikan sejumlah aktivis, seperti: Pius, Desmond dan Taslam; dilakukan oleh orang-orang Prabowo. Penembakan yang mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dilakukan oleh sniper Kopassus yang berseragam Brimob. Demikian juga kerusuhan anti-Cina, berlangsung selama tanggal 13-14 Mei. Dua kasus penting itu berpotensi menyulut provokasi supaya masyarakat membenci pimpinan ABRI, dalam hal ini Jend. Wiranto.

Tetapi usaha ini gagal karena Wiranto cukup pintar bermain. Dalam pernyataannya, selalu ia katakan mendukung reformasi. Dengan tegas pula dikatakan, gugurnya 4 mahasiswa Trisakti akibat tembakan peluru tajam, bukan peluru karet. Kesigapan Wiranto dalam merespon kejadian-kejadian di lapangan ini yang membuatnya tegar dan diam-diam memperoleh simpati di sejumlah orang sipil. Namun saat itu dianggapnya bukan saat yang tepat untuk konfrontasi dengan Prabowo. Dua hari setelah Soeharto mundur, baru dianggap momentum yang pas. Bukankah kabinet reformasi pembangunan ini akan membersihkan diri dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme?

Bukan hanya Prabowo. Kini perwira-perwira yang masuk dalam komplotannya, seperti KASAD, Pangdam Jaya dan Danjen Kopasus juga dibersihkan dari kekuasaannya. Keputusan ini konon juga dipercepat dengan adanya pengerahan kelompok-kelompok radikal ke MPR/DPR-RI untuk berhadap-hadapan dengan massa mahasiswa yang hingga Jum'at malam ini masih menduduki gedung itu. Kelompok-kelompok radikal itu mengaku datang untuk menyatakan dukungan ke Habibie. Tapi di balik alasan itu tercium skenario yang nantinya potensial mendiskreditkan Panglima ABRI. Hampir saja massa mahasiswa Pro-Reformasi berhadapan massa yang mengaku Pro-Habibie. Kalau bentrok terjadi dan muncul korban, maka Habibie dan Wirantolah yang akan menuai getahnya. Dalam situasi ini, ada celah masuk bagi Prabowo untuk mendapatkan keuntungan politik. Perlu diketahui, operator gerakan yang tadi siang sempat bersitegang dengan mahasiswa itu diindikasikan sebagai orang-orang sipilnya Prabowo. Antara lain Fadli Zon yang saat pernikahannya dihadiahi mobil mewah oleh Prabowo. Di sana juga nampak Ahmad Soemargono, Abdul Qadir Djaelani dan MS Ka'ban.

Memang, begitulah konsekuensi pertarungan politik dalam sistem tertutup. Kejadian seperti itu tidak akan terjadi kalau semua pihak sepakat dengan reformasi total yang menuntut adanya transparansi, persamaan peluang, penghargaan atas perbedaan dan pertanggung-jawaban sosial. Hanya dengan menciptakan reformasi ke arah itulah iklim demokratisasi yang berkeadilan dapat ditegakkan. (averus)