Suluh Demokrasi

HAKUNA MATATA ?
Oleh: Satrio Wareng


Belakangan macan-macan kampus di seantero Indonesia sudah mulai berani mengaum lagi. Walaupun mereka baru berani menunjukkan taring-taringnya terbatas di dalam sarangnya sendiri, namun setidaknya aumannya sudah mulai terdengar di seluruh penjuru rimba perpolitikan di Republik tercinta. Sejak pekan terakhir bulan Februari hingga sekarang, setidaknya sudah puluhan kampus mengadakan aksi unjuk rasa menanggapi melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat. Tuntutannya beragam, namun intinya sama, mereka menuntut penurunan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat dan menuntut reformasi ekonomi dan politik di Indonesia.

Menggembirakan memang, menyaksikan rekan-rekan dari kampus-kampus lain sudah berani menyuarakan aspirasi rakyat, atau setidaknya menyuarakan aspirasi mereka, lah! Saya dengar bahkan pejabat-pejabat pemerintah pun menyambut hangat aksi rekan-rekan tersebut. Bahkan seorang pejabat menyatakan bahwa wajar saja kalau dalam kondisi seperti sekarang ini mahasiswa-mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa, malahan aneh kalau dalam kondisi seperti sekarang mahasiswa hanya diam dan kuliah. Di beberapa kampus para mahasiswa tersebut malahan didukung oleh dosen-dosen dan pimpinan rektorat.

Setidaknya para mahasiswa tersebut sudah turun dari menara gading-nya yang selama dua dasawarsa ini dipagari dengan kawat berduri NKK/BKK oleh pemerintah. Melihat semangat mereka kembali, saya seperti menyaksikan semangat singa Simba dalam film kartun Lion King-nya Walt Disney. Simba yang bertahun-tahun hidup di dalam hutan tropis yang ramah dengan prinsip Hakuna Matata-nya, dengan gagah berani kembali ke hutan sabana untuk menyelamatkan rakyatnya dari kediktatoran Scar, pamannya sendiri, yang di-back up oleh sepasukan hyena.

Hakuna Matata adalah prinsip yang diajarkan oleh sahabat-sahabat Simba, Timon dan Pumba yang intinya adalah don't worry, be happy. Dengan mengikuti prinsip tersebut, Simba bertahun-tahun hidup berbahagia dengan sahabat-sahabatnya itu di hutan tropis setelah kematian ayahnya, raja Mufasa, yang direkayasa oleh Scar. Sementara rakyatnya yang tinggal di hutan sabana tertekan oleh kediktatoran Scar.

Hal yang sama terjadi pada mahasiswa-mahasiswa kita selama beberapa tahun ini. Setidaknya mereka selama ini cenderung apatis dengan kondisi sosial-politik yang ada di Indonesia. Mahasiswa Indonesia sekarang cenderung untuk berkonsentrasi dalam kuliahnya dan secepat mungkin mendapatkan gelar sarjana mereka. Tidak bisa disalahkan memang, mengingat beban sistem SKS yang membatasi masa kuliah dan mahalnya biaya kuliah, khususnya bagi mahasiswa-mahasiswa perguruan-perguruan tinggi swasta. Hal ini makin diperparah dengan pengebirian hak-hak politik mahasiswa melalui NKK/BKK sejak tahun 1978 yang mengakibatkan mahasiswa Indonesia tidak dapat lagi berpolitik praktis di dalam kampus.

Simba akhirnya sadar, bahwa dirinya mempunyai kewajiban untuk menggantikan ayahnya menjadi raja dan memimpin rakyatnya. Kembalinya Simba ke hutan sabana tepat pada waktunya, karena sistem pemerintahan yang dijalankan Scar mengakibatkan kaburnya seluruh binatang yang merupakan kekayaan alam hutan sabana tersebut. Pada saat itu kelompok singa sudah kelaparan karena tidak dapat lagi mendapatkan binatang buruannya. Kelompok hyena yang selama di bawah pemerintahan Scar mendapatkan "fasilitas khusus" berupa hasil buruan dari kelompok singa sudah menatap dengan mata kebencian dan kelaparan.

Setelah pertarungan yang seru dan mendebarkan dengan Scar, Simba akhirnya dapat merebut kembali tahtanya. Di bawah pemerintahan Simba, seluruh binatang yang pergi kembali lagi ke hutan sabana. Kelompok hyena kembali ke pinggiran hutan sebagai pemakan bangkai dan kehidupan kembali berjalan seimbang sesuai dengan aturan alam.

Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah para mahasiswa kita sudah benar-benar tidak lagi ber-hakuna matata dan benar-benar sudah memikirkan kondisi sosial-politik di Indonesia? Beranikah mahasiswa kita bertindak seperti Simba yang menantang pamannya sendiri yang telah menyengsarakan rakyatnya dan telah membunuh kandungnya?

Agak sulit dibayangkan memang, kalau mahasiswa-mahasiswa manja kita saat ini berdemonstrasi turun ke jalan seperti yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia tigapuluh dua tahun yang lalu saat ikut mendirikan rejim ini. Setidaknya saat itu, mahasiswa kita masih dididik secara idealis dan demokrastis. Selain itu mahasiswa-mahasiswa kita saat itu memang merupakan sekumpulan intelektual dewasa yang concern terhadap bangsanya.

Saya akan cenderung berpikir optimis, bahwa rekan-rekan mahasiswa sekarang sudah mulai menunjukkan kesadarannya bahwa kondisi bangsa tercinta sudah sedemikan buruknya dan perlu sesegera mungkin diperbaiki. Saya juga berharap kesadaran tersebut tepat pada waktunya dan dapat membantu bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan.

Tapi kalau harapan saya itu berlebihan, yah saya kira rekan-rekan bisa kembali jadi anak manis yang pendiam dan kuliah dengan baik. Mungkin setelah kita bisa bertemu di cafe sambil mendiskusikan film terbarunya Walt Disney atau film-film terbaru lainnya. Pada saat itu sambil mereguk segelas soft drink, mungkin kita bisa membuat harapan-harapan yang baru lagi. Itu juga kalau saya masih mampu ke cafe, tapi kalau sekedar berharap saya kira saya masih akan mampu. Semoga...