Suluh Demokrasi

REBO DAN RESESI EKONOMI
Oleh : SW


Rebo adalah sebuah nama yang teramat sederhana, tanpa embel-embel dan tanpa arti yang terlalu memberatkan bagi pemiliknya.  Nama Rebo hanya menunjukkan bahwa pemiliknya dilahirkan di hari Rabu, berbeda dengan nama Anda, nama saya atau nama kebanyakan orang jaman sekarang, yang biasanya memiliki arti sifat-sifat yang dicita-citakan oleh orang tua-orang tua kita agar kita miliki. Dan seperti namanya, Rebo, pemiliknya adalah seseorang yang sangat sederhana dan lugu.  Setidaknya seperti itulah gambaran Rebo saat saya mengenalnya satu setengah tahun yang lalu.

Saya mengenal Rebo pada saat peristiwa 27 Juli 1996.  Kami sama-sama ditahan di Polda Metro Jaya selama lima hari pada waktu itu.  Ketika  itu 'tahanan politik' di situ dibagi dua oleh petugas Polda, kelompok pertama adalah kelompok DPP PDI yang ditahan pada saat kantornya diserbu oleh gerombolannya Soerjadi pada tanggal 27 Juli dan kelompok kedua adalah kelompok massa yang ditahan pada saat terjadi demonstrasi pada tanggal 27 dan 28 Juli.  Saya dan Rebo termasuk di dalam kelompok massa yang ditahan pada hari Minggu Siang tanggal 28 Juli.  Rebo adalah seorang buruh bangunan harian yang baru seminggu datang di Jakarta. Ketika itu Rebo sedang mengerjakan proyek di daerah Salemba dan pada hari Minggu Rebo berjalan-jalan menikmati kemegahan Jakarta tanpa sadar bahwa situasi Jakarta saat itu sedang siaga satu dan Rebo yang tidak tahu apa-apa itu tanpa protes digiring ke truk depan kantor DPP PDI dengan pukulan dan tendangan puluhan aparat sepanjang jalan Diponegoro.

Kelompok massa yang ditangkap bersama-sama dengan saya di sekitar ada sekitar tujuh belas orang.  Setelah melalui serangkaian 'proses', termasuk pemukulan-pemukulan di lokasi hingga interogasi sepanjang siang dan sore hari, tersisa empat belas orang termasuk saya dan Rebo, tiga orang lagi entah kemana, yang saya tahu terakhir kali salah seorang dari tiga orang itu kakinya sudah tidak dapat digunakan untuk berjalan lagi karena kebrutalan aparat keamanan.  Dari empat belas orang kelompok kami, Rebo termasuk yang paling 'low profile'.  Setidaknya dia yang paling tidak tahu apa-apa dan tidak pernah eyel-eyelan pada saat diinterogasi oleh petugas.  Di dalam gudang yang dijadikan ruang tahanan pun, Rebo termasuk yang 'kurang bergaul' dengan lainnya.  Kerjanya hanya tidur dan saat kami bangunkan untuk makan, dia terduduk sambil menggaruk-garuk kepalanya, "Wah mas, nasibku kok elek tenan koyo' ngene,  to! (Wah mas, nasibku kok jelek sekali seperti ini, ya!)", komentarnya.  Setelah itu Rebo menikmati makanannya dan kembali tidur.  Perlu diketahui, jatah makanan  tahanan politik 27 Juli untuk tiga-empat hari pertama cukup memuaskan, minimal ayam goreng atau rendang untuk makan siang dan telur untuk sarapan dan makan siang.  Teman saya yang bernama Azis pernah iseng-iseng bertanya pada Rebo, bukankah lebih enak ditahan, bisa makan rendang dan ayam goreng.  Rebo menjawab dengan singkat, "Wah, yo enak neng njobo to, Mas. Bebas! (Wah, ya enak di luar dong, Mas. bebas!)".  Itulah prinsip sederhananya Rebo tentang kebebasan.  Satu yang dikhawatirkan Rebo jika dibebaskan, dia tidak punya uang sepeser pun dan tidak kenal siapa pun di Jakarta.

  Setelah keluar dari tahanan, saya tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Rebo.  Kabar terakhir yang saya dengar, polisi yang simpati dengan Rebo memberinya uang sekedarnya dan salah seorang teman saya, Bachtiar, mengantarkannya kembali ke Salemba. 

Itulah Rebo satu setengah tahun yang lalu, saat ekonomi Indonesia sedang berada di puncak kejayaan.  Saat pemerintah sedang arogan-arogannya memaksakan kehendak politiknya kepada rakyat dan saat bangsa kita membuat prestasi menjadi negara kelas menengah dengan penghasilan di atas US$ 1.100.  Satu tahun setelah peristiwa 27 Juli tiba-tiba ekonomi Indonesia mengalami goncangan hebat, nilai rupiah Anjlok dari sekitar Rp 2.400,00 per US$ pada awal Juli 1997 menjadi lebih dari Rp 15.000,00 per US$ pada awal  Januari 1998, otomatis pendapatan per kapita rakyat Indonesia anjlok di bawah US$ 200.    Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi dan mulai menghilang dari pasaran.  Perusahaan-perusahaan nasional satu per satu berjatuhan dan jutaan orang kehilangan pekerjaannya.  Sektor properti terkena dampak terparah dan setidaknya mengakibatkan setengah juta buruh kasar harian di Jakarta mengganggur.

Entah bagaimana nasib Rebo di hari-hari seperti ini.  Kalau Rebo masih menjalani profesinya yang lama, berarti dia termasuk dari setengah juta buruh yang mengganggur itu.  Kalau beruntung, Rebo mungkin termasuk buruh yang mendapat jatah di proyek-proyek padat karya.  Tapi seberapa banyak proyek-proyek tersebut dapat menampung buruh-buruh yang mengganggur dan seberapa lama proyek-proyek tersebut akan dijalankan.  Atau mungkin Rebo kembali ke kampungnya, tapi mau apa dia di sana?  Rebo termasuk buruh tanpa modal kecuali tenaganya, proletar, istilah sosialisnya.

Yang jelas Rebo tidak mungkin lagi merasakan nikmatnya nasi rendang dan ayam goreng seperti yang kami makan bersama-sama di tahanan.  Harga daging dan ayam melambung dan tidak mungkin terjangkau oleh orang seperti Rebo.  Masih lumayan kalau Rebo bisa mendapat beras operasi pasar Bulog, paling tidak dia masih bisa makan nasi.  Rebo juga tidak mungkin lagi menikmati susu seperti di tahanan dulu, yang biarpun satu kantong kecil kami minum ber-empat belas, terasa sangat enak.  Harga satu kaleng susu kental ukuran kecil sekarang sudah lebih dari Rp 5.000,00.

Mungkin Rebo sekarang tidak lagi berpikir "lebih enak di luar, bebas!".  Mungkin jika Rebo ditangkap sekarang, bukan satu setengah tahun yang lalu, dia tidak akan mengeluh memikirkan nasibnya karena nasibnya sekarang saya yakin tidak lebih baik daripada waktu di dalam tahanan Polda Metro Jaya dahulu.  Entahlah bagaimana nasib Rebo sekarang. Entah bagaimana pula nasib Rebo-Rebo lain yang jumlahnya sekarang mencapai sekitar setengah juta jiwa di Jakarta. 

Yang jelas Jakarta sudah menjadi kota yang sangat rawan kriminalitas saat ini.  Saya dengar bahkan jalan Jendral Sudirman sudah tidak lagi aman, di siang hari sekalipun.  Mudah-mudahan Rebo sekarang masih Rebo yang lugu dan sederhana seperti yang saya kenal satu setengah tahun yang lalu.  Yang masih berpikir bahwa kebebasan dan harga diri jauh lebih berharga dari sekedar materi.  Semoga Rebo-Rebo yang lain juga masih berpikir seperti itu.  Dan yang lebih saya harapkan lagi orang-orang dari golongan yang kondisi ekonominya lebih baik dari Rebo, atau orang-orang yang merasa lebih baik dari golongannya Rebo, dapat berpikiran seperti itu juga.  Karena bagaimanapun korupsi, kolusi, manipulasi, atau penimbunan bahan pokok, yang selama ini dilakukan oleh kalangan yang kondisi ekonominya jauh lebih baik dari Rebo, tidaklah lebih baik dari pencurian dan perampokan, bahkan lebih buruk.  Lihatlah sekarang, karena ulah kalangan birokrat dan pelaku ekonomi Indonesia, akhirnya masyarakat seperti Rebo lah yang harus paling berat menanggung akibat bobroknya birokrasi pemerintahan  dan ekonomi kita.