Suluh Demokrasi

GENERASI AICA AIBON
Oleh : SW *)


Beberapa waktu yang lalu, menjelang tengah malam saya menumpang sebuah Kijang omprengan menuju ke arah Cawang. Saya duduk di bagian belakang yang berkapasitas penumpang empat orang, ketika saya naik sudah ada seorang anak berusia belasan tahun yang duduk di belakang. Beberapa saat kemudian naik dua orang dewasa, belakangan saya ketahui salah seorang adalah seorang pedagang beretnis Minang dan seorang lagi seorang aparat keamanan.

Sudah menjadi kebiasaan bila menumpang mobil omprengan, penumpang mengumpulkan uang ongkosnya sendiri untuk kemudian diserahkan pada sopir. Lampu dinyalakan ketika kami mengumpulkan ongkos tersebut. Sang anak kecil yang ternyata seorang pengamen, mengambil kepingan beberapa uang ratusan dari kantong bekas pembungkus permen dan menyerahkannya pada saya. Kemudian uang tersebut saya kumpulkan dengan uang saya, uang sang pedagang dan uang sang aparat keamanan kemudian saya serahkan pada penumpang yang duduk di bagian tengah kendaraan.

Kami bertiga, saya, sang pedagang dan sang aparat keamanan, pada saat itu bersimpati pada sang pengamen yang hingga menjelang tengah malam baru akan pulang ke rumahnya di Cililitan setelah seharian mencari nafkah dengan mengamen. Dari pertanyaan-pertanyaan kami bertiga terungkap bahwa sang pengamen sudah tidak lagi mempunyai seorang ayah dan sekolahnya yang baru kelas satu SMP harus putus di tengah jalan karena tidak ada biaya. Lampu kembali dimatikan, kami semua terdiam dalam mobil yang melaju kencang di jalan tol.

Tiba-tiba tercium bau aneh yang menyengat. Sang pedagang melihat ke arah sang pengamen dan berkata, "Saya tau kamu sedang ngapain! Coba, saya lihat apa yang kamu pegang!" Kami bertiga menatap ke arah sang pengamen yang setengah wajahnya dimasukkan ke dalam kaosnya yang kumal. Tangan kanannya yang tampak memegang sesuatu juga dimasukkan ke dalam kaos. Mata sang pengamen yang tiba-tiba berubah merah menatap kami bertiga dengan ketakutan. Saya baru sadar kalau sang pengamen cilik kita sedang "teler" dengan menghirup uap lem Aica Aibon. Saya sebenarnya sudah sering sekali mendengar dan membaca tentang hal ini, tapi baru sekali ini saya melihat seseorang melakukannya di depan mata saya, dan ini dilakukan oleh seorang anak kecil berumur tigabelasan tahun! Sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir dan anggota masyarakat yang baik, saya mencoba menasehati "adik" saya itu, walaupun saya tahu tidak akan ada gunanya. Sang pedagang dan sang aparat keamanan pun mencoba menasehatinya, namun sang pengamen dengan suara teler-nya berujar, "Sekali ini aja kok, nggak lagi-lagi". Kami bertiga cuma bisa geleng-geleng kepala. Kami terus berusaha menasehati dengan memberitahu bahayanya teler dengan menghisap uap lem seperti itu, terutama untuk paru-parunya. "Lebih baik kami minum minuman keras daripada seperti ini", kata sang pedagang.

Namun sepertinya sang pengamen cilik sudah benar-benar terlena dengan kebiasaannya itu. Sang aparat keamanan pun sudah kehabisan akal. "Kalau dia membawa obat-obatan terlarang bisa saya tangkap, atau kalau dia membawa minuman beralkohol juga masih bisa saya tangkap karena di bawah umur". "Tapi bagaimana bisa saya menangkap seorang anak karena membawa sekaleng lem", ujarnya dengan bingung.

Akhirnya setelah tidak ada yang bisa kami lakukan, seperti layaknya kebiasaan bangsa ini, kami bertiga akhirnya cuma bisa berdiskusi membahas masalah tersebut. Sang pedagang mengungkapkan bahwa di dekat kiosnya di daerah Jatinegara, hampir tiap malam dia melihat hal seperti ini. Rata-rata "pemakai" Aica Aibon ini adalah anak-anak jalanan berusia belasan tahun, laki-laki maupun perempuan.

Saya mencoba untuk mengerti dengan mengatakan bahwa mungkin anak-anak tersebut tidak dapat menerima kepahitan hidup yang harus mereka alami dalam usia yang sedemikian muda. Namun di dalam hati, saya tidak dapat mengingkari bahwa sudah banyak generasi muda bangsa ini yang sudah rusak mentalnya. Anak-anak bangsa yang kondisi hidupnya jauh lebih baik pun banyak yang sudah terjerumus menjadi pecandu minuman keras atau obat-obatan terlarang. Harus diakui, banyak generasi muda yang berusia belasan tahun sudah tidak lagi mempunyai mental yang bisa dibanggakan. Harus diakui juga, banyak generasi seumuran saya yang justru lebih rusak lagi. Mungkin juga generasi di atas saya. Wallahualam.

Saya sendiri tidak tahu, siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Dalam kasus sang pengamen ini, apakah saya harus menyalahkan Soerjadi sebagai pemilik pabrik lem Aica Aibon? Soerjadi mungkin seorang oportunis dan bajingan politik, tapi dia tidak mungkin berniat merusak generasi muda dengan lem Aica Aibonnya. Bahkan saya cenderung menyukai lem Aica Aibon karena mutunya cukup baik dan harganya relatif sangat murah dibandingkan lem-lem lainnya. Harganya yang murah jualah yang membuat anak-anak jalanan tadi memilihnya untuk membawa mereka terbang di awang-awang melupakan segala problematika hidupnya. Jelas-jelas lem tersebut disalahgunakan. Saya tidak mungkin menyalahkan seorang pembuat pisau dapur, kalau pisau itu kemudian digunakan untuk membunuh! Yang salah, jelas pembunuhnya!

Tapi apakah saya harus menyalahkan anak-anak jalanan tadi? Kondisi yang adalah yang menyebabkan mereka menempuh tindakan yang menyimpang tadi. Mental mereka memang rusak, tapi kondisi bangsa yang juga rusak jugalah yang menyebabkan mental mereka rusak.

Saya, seperti layaknya mahasiswa lain belakangan ini, cenderung akan menyalahkan rejim orde baru. Dalam tiga dasawarsa pembangunan yang dibangga-banggakan pertumbuhan ekonominya itu, rejim orde baru telah melupakan bidang pembangunan yang justru sangat dibutuhkan masyarakat: Pembangunan Mental bangsa! Sesuatu yang setidaknya dilakukan oleh rejim Demokrasi Terpimpin yang selama ini dijelek-jelekannya itu. Tapi tentunya saya tidak begitu saja mengeluarkan tuduhan saya itu, apalagi di hadapan seorang aparat keamanan, sebaik apapun aparat itu. Saya sudah puas berurusan dengan aparat keamanan saat peristiwa "Sabtu Kelabu" dua tahun yang lalu. Lagipula mobil omprengan kami sudah tiba di Cawang. Kami bertiga mengucapkan kalimat perpisahan dan kembali ke rumah kami masing-masing, dengan membawa pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Tapi di balik perihnya melihat kondisi anak tadi, ada seberkas optimisme di hati saya. Kalau saja kami bertiga bisa dianggap mewakili ABRI, masyarakat dan mahasiswa, setidaknya ketiga komponen bangsa itu masih bisa berdialog tanpa saling curiga untuk memikirkan nasib bangsa dan negara ini, yang kondisinya tidak lebih baik dari sang pengamen cilik tadi.

*)Penulis adalah seorang Mahasiswa tingkat akhir, tinggal di Jakarta