Suluh Demokrasi
WAHANA LINGKUNGAN


Bapak-bapak saya mau ingatkan pengalaman Jerman yang katanya berpengalaman mendaurulang sampahnya. Perusahaan-perusahaan penghasil sampah plastik di Jerman menanamkan modal bersama membentuk perusahaan pendaur ulang semua sampah kemasan yang mereka hasilkan yang ditandai dengan der Grune Punkt berwarna hijau itu. Perusahaan-perusahaan itu setelah menyetorkan modal dalam perusahaan seakan-akan kemudian lepas tangan dengan asumsi semua sampah pasti akan didaur ulang dengan baik. "Pokoknya saya sudah membayar untuk daur ulang itu," mungkin demikian kata mereka. Memang mereka harus membayar ongkos daur ulang untuk setiap kemasan yang mereka gunakan. Bagaimana kenyataannya?

Akibat mereka mendewakan proses daur ulang, sampah plastik menumpuk tidak bisa didaur ulang karena kapasitas daur ulang yang ada tidak mampu memprosesnya. Kemudian sampah-sampah itu dikirim ke Indonesia, Hongkong, dan negara dunia ketiga lainnya. "Pokoknya orang Jerman tidak melihat sampah lagi, tanpa peduli dibuang ke mana sampah mereka itu." Mengapa kapasitas proses daur ulang tidak mencukupi lagi? Apakah mereka salah hitung? Sebenarnya proses daur ulang mereka (saya pernah ke Jerman melihat proses daur ulang sampah plastik di sana) sungguh besar. Tetapi karena konsumen beranggapan toh semua sampah yang bertanda titik hijau itu akan didaur ulang jadi, "Hayo kita konsumsi sebanyak-banyaknya. Toh nanti sampahnya akan didaur ulang semuanya." Pengusaha juga demikian, "Toh saya sudah bayar untuk biaya daur ulang. Itu tanggung jawab perusahaan daur ulangnya."

Persoalan lainnya. Plastik itu "tidak bisa didaur ulang." Namanya daur ulang harusnya bisa kembali lagi ke benda semula dengan fungsi yang sama. Plastik kalau sungguh-sungguh didaur ulang harus menjadi minyak bumi lagi. Nah itu namanya daur ulang. Padahal yang diagungkan sekarang sebagai daur ulang adalah pengolahan kembali bahan plastik bekas menjadi produk yang kualitasnya rendah. Demikian seterusnya. Prosesnya bisa diandaikan sebagai spiral. Yang semakin lama semakin menumpuk (seperti per dari bawah melingkar semakin lama semakin tinggi). Kalau daur ulang siklusnya harusnya berupa lingkaran, tidak ada ujung pangkalnya dan tidak bertambah. Jadi istilah daur ulang tidak bisa digunakan untuk plastik, kecuali didaur ulang menjadi minyak bumi. Istilah yang tepat ialah proses lanjutan. Plastik yang diproses berkali-kali kualitasnya menjadi semakin buruk, apalagi plastik yang berwarna. Produk proses paling akhir sosoknya hitam gelap, seperti ember plastik hitam yang biasanya digunakan kuli bangunan untuk ngaduk semen. Hayo bagaimana kalau itu terjadi di Indonesia yang masih rendah pengetahuan lingkungannya.

Saya ingatkan jangan mengikuti slogan pengusaha (yang menggunakan kemasan plastik), termasuk perusahaan air dalam kemasan. Mereka berslogan, "Daur ulang baik, bisa mengatasi persoalan sampah plastik. Jadi teruslah mengkonsumsi produk kami karena dengan kemasan plastik semuanya menjadi nyaman." Mereka juga memproklamirkan diri sebagai perusahaan yang berwawasan lingkungan, karena telah mendaur ulang sampah mereka dan memberikan sebagian dana untuk proses daur ulang itu. Apa demikian?

Prinsip konsumen hijau yang saya pelajari selama ini tidak demikian. Pertama sebagai konsumen hijau kita harus mengurangi konsumsi (reduce). Sebanyak mungkin mengurangi konsumsi plastik, misalnya tidak menggunakan kantong kresek plastik (yang hitam itu juga termasuk produk akhir proses lanjut sampah plastik), kemasan-kemasan plastik. Kemudian kalau terpaksa produk itu digunakan ulang (reuse). Misalnya, gelas plastik kan bisa dipakai seumur-umur kalau nggak dipecahkan. Kantong kresek, kalau terpaksa tidak bisa dihindari, bisa digunakan berkali-kali sampai bolong. Jadi kalau ke pasarswalayan bawa kantong plastik sendiri. Atau bawalah kantong kain sendiri untuk membawa barang belanjaan. Ketika kedua prinsip itu tidak bisa kita laksanakan, barulah prinsip recycle dilaksanakan. Nah, urutan-urutan prinsip itu tidak bisa diputar-balikkan. Tidak bisa recycle duluan baru lainnya. Nah, pengusaha pintar supaya bisa terus memproduksi mereka mengedepankan prinsip recycle itu. Hai para konsumen jangan sampai kita terjebak dengan slogan yang katanya berwawasan lingkungan itu. Karena itu kita harus menuntut mereka mengurangi produksi sampah itu yang utama. Semakin sedikit sampahnya semakin baik. Kalau jelas kemasannya milik siapa, kita kumpulkan dan kembalikan kepemiliknya. Perusahaan yang berwawasan lingkungan sekarang ini bukan sekedar tidak mencemari sungai, tetapi perusahaan itu harus betul-betul menerapkan prinsip lingkungan mulai dari mendapatkan bahan bakunya sampai produknya selesai dikonsumsi.Perusahaan air dalam kemasan harus dilihat apakah sumber mata air yang diambilnya itu membuat susah masyarakat setempat, apakah ketika mengambil mengganggu lingkungan sekitar, apakah mengambilnya dengan eksploitasi berlebihan. Kemudian dalam prosesnya apakah sudah efisien dalam menggunakan sumber daya lainnya. Dan setelah produknya dikonsumsi, apakah sampahnya berceceran di mana-mana. Saya anjurkan kita kumpulkan sampah itu dan kirim ke pabrik asalnya.
Sebenarnya para produsen air dalam kemasan mempunyai kemasan yang paling pas yaitu botol beling. Nah, tidak seperti plastik gelas atau beling bisa didaur ulang untuk dijadikan botol kembali. Mengapa mereka tidak memperbanyak produk itu? Saya pernah mendapat jawaban, kemasan botol beling tidak praktis. Kelihatan deh jiwa bisnis yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Jadi jangan sampai Indonesia jadi seperti Jerman itu. Hayo para konsumen kalau ingin membantu memperbaiki lingkungan kurangi konsumsi produk yang merusak lingkungan.

Salam,
Harry Surjadi
harry@kompas.com